Betapa realita, hanya
sebuah derita yang fana.
~ga tau siapa yang bilang
~ga tau siapa yang bilang
------^^-------
“Psst,psst,bangunlah kau.” Dinginnya pagi masih menusuk raga.
Seseorang dalam mimpi berbisik membuat anak manusia terjaga.
“ Bletaak!!”
Terasa sebuah getaran yang memekakkan telinga. Kedua mata anak itu terbuka, sadar, tubuhnya tergeletak di lantai bawah ranjang dengan air liur membentuk pulau kalimantan di bantalnya.
Jam 5.30, terlambat.
Kamar masih gelap dengan deru kipas angin membuat tubuhnya makin lekat ke lantai.
“Jeplak!!” seketika lampu kamar menyala.
“Tong, bangun! Ga dapat sarapan jangan nangis ya.”
“Mmmm,,iya mi!”
Apakah sarapannya mi instan? Ataukah mi itu di gotong? Tentu tidak. Mi itu mami, panggilan untuk ibunya. Tong itu panggilan sang anak, nama aslinya sih Ketong Alamsyah. Hari jumat ini pun dimulai.
Jam 6.55, makin terlambat. Sepotong roti di mulut ketong dihabiskan di atas motor.
“Bwngt mm, angmlangkom!”
“Ngomong apa si Tong, berangkat dah sono.” Mami bingung.
Mulut Ketong masih penuh dengan roti. Gas motornya terasa hampa, dari kejauhan mami melambai. Melepas anaknya ke dunia yang keras, sekolah.
Jam 7.15, benar-benar terlambat.
Jumat ini jalanan padat dengan kecoa besi yang merayap. Di depan gerbang sekolah, si mamang, mr. Satpam sudah berteriak dari jauh.
“Tong, lo rumah deket pake motor masih aja telat. Cepet masuk!”
Ketong hanya mengkerlingkan mata. Bukan karena naksir si mamang tetapi karena dia pakai helm. Parkir motor penuh, satu tempat tersisa di antara dua buah motor sport mahal.
“Duh. Tong malu kenapa, motor saban dua ratus meter mogok aja di jogrog disitu.”
Sekali lagi ketong hanya mengkerlingkan mata sambil mengambil kartu parkir dari si mamang.
“(sialan…)” Gerutu ketong dalam hati.
Beruntung, guru keseniannya belum masuk.
“Huuaaah!” rasa kantuk tiada berujung.
Yang ketong lihat hanya bibir bu Sari yang kelihatan berkoar seraya menekan tuts keyboard. Segelas kopi dan selembar roti akan memusnahkan serangan kantuk. Sayangnya tidak ada yang dapat menahan godaan Morpheus, sang dewa mimpi. Tanpa sadar, Ketong siap membentuk peta buta di mejanya.
Kimia…
“Ya silahkan PR-nya dikumpulin di depan.” Bu Tini berteriak di depan bagai memerintahkan bala tentaranya.
“Tidaaaaak, gua belum bikin PR bu Tini!!” Ketong terperanjat dengan rasa takut seorang penjahat yang akan dicambuk oleh algojo.
Kemampuan menulis kilat ketong akhirnya dapat di andalkan, walaupun tulisannya seperti tulisan suku klobebah (?). Tepat sebelum diperiksa, PR ketong telah selesai. Akhirnya..
Jam 11.00, sebagian anak telah menuju masjid untuk salat jumat. Ketong berjalan perlahan-lahan ke kantin. Tak disangka dan dikira.
“Woi,temen-temen! Si ketong dateng!!” Seseorang anak berteriak bagai seruan perang kepada amerika.
Seketika kantin kosong. Yang tersisa hanya 1 meja dengan 1 orang anak. Dari jauh terlihat wajahnya yang hitam sangar seperti pembunuh berdarah dingin, hidung kempas-kempis, telinga naik turun,lidah melet-melet. Saat sudah dekat, Ketong tersadar orang itu adalah temannya.
Eroy Alexander ototo, nengok dipanggil belut. Tapi takut dikira melecehkan binatang panggil aja eroy.
“Eh Tong pa kabar? Sini duduk, lagi makan nih. Pesen aja.”
Sapa Eroy sambil menggeser makanannya menjauh dari Ketong.
“Ga bakal minta, tenang aja!”
“Kan biasanya….”
Pembicaraan 2 orang itu berlanjut.
Mulai dari topik yang wajar seperti:”pelajaran apa tadi.”
Topik tingkat tinggi seperti: “Menurut lo kinerja gubernur Jakarta gimana.”
Topik tidak penting contohnya: “Awan ko putih ya.”
Sampai yang tidak patut dicontoh “bocorin ban mobil kepsek yuk.”
Jam 12.00, salat jumat segera dimulai, 2 orang aneh itu sadar mereka terlambat.
“Tidaaaaaaak!”
mereka teriak berhadapan dan sadar mereka belum sikat gigi.
Mereka segara berangkat meninggalkan kantin dengan kecepatan penuh.
Pintu sekolah sudah ditutup. Dan 2 orang ini akan membuat keputusan yang akan mereka sesali.
“Tong mau salat dimana?”
“Kalau di bawah penuh. Di sana aja tempat waktu itu ke rumah Afid.”
“Ni udah telat nyong!”
“Weits, Jangan sebut gua babang ketong kalo ga tau jalan pintas. Lewat sini!”
Mereka masuk ke sebuah gang kecil. Ketong mulai merasa ada yang aneh.
“(Kok udah diaspal ya..)” Tambah aneh lagi ketika melihat kebun yang biasa dilalui menjadi perumahan. Tapi mereka masih tenang. Jiwa petualang mereka masih berkobar.
“Lewat sini tu jalannya.” Ketong yakin hingga dia menemukan jalan itu hanya sekumpulan pohon dan jurang penuh sampah.
“Lo gua boongin mau aja, bukan disini, hehehe.” Padahal Ketong mulai gelisah.
Eroy terus mengikuti ketong yang sebenarnya sudah tidak tahu mau kemana. Mereka terus berjalan hingga menemukan sebuah pintu.
“Nah Roy,tinggal masuk pintu itu langsung masjid deh.” Eroy hanya mengangguk.
Apakah yang mereka temukan di balik pintu itu?
“Tong,ini apaan?” Mata Eroy terbelalak.
Di depan mereka tampak rumah tua dikelilingi kebon singkong. Dari dalam rumah itu sayup-sayup terdengar suara tawa tanpa wujud. Dua orang aneh itu saling berhadapan dengan wajah pucat. Pantang mundur, mereka mengeluarkan jurus terbaik mereka, langkah seribu.
“Tong katanya elu tau. Ni malah muter-muter. Panggil peta !” Eroy panik.
“Santai aja, kalau kita mau berusaha pasti ada jalan, maka dari itu semua mari kita bersodaqoh.” Ketong mulai step.
“Oke gua rasa gua tau jalannya,lewat sini.” Eroy ambil alih pimpinan sekarang.
Mereka ambil jalan memutar jauh ke bagian lain dari jurang yang tadi. Perumahan itu belum berpenghuni. Terlihat seperti kota hantu. Kota hantu dengan dua orang bodoh.
Apa yang mereka lihat. Sebuah jalan kayu kecil dengan sekumpulan orang bersenjatakan palu,pacul,dan gergaji. Sekali lagi mereka membuat keputusan dengan otak yang laju berpikirnya terhambat karena putus asa.
“Jangan lewat sini terlalu berbahaya saudara Eroy. Kita susun rencana.”
Eroy yang sudah hilang kewarasan hanya manggut-manggut. Dengan rumus matematika yang tak pernah ada, Ketong membuat perhitungan.
“Kita di posisi X, Integralkan lalu selesaikan dengan persamaan linear parsial ekuivalen. Tarik garis lurus, maka kita akan sampai ke……………….rumah tua yang tadi.”
“Tunggu apa lagi, cepat!!” Eroy kehilangan akal sehatnya.
Sampai di rumah tua. Rumah itu tampak makin mencekam. Awan hitam berkumpul diatasnya. Angin bertiup kencang meniupkan bau kotoran ayam.
“Tong, kemana lagi. Gua takut, gua belum kawin soalnya.”
“Pssst...Lo nyium ini, bau ayam!! Hore!! Bau ayam, bau ayam, bau ayam!!!” Ketong jingrak-jingkrak ga karuan.
“Duh dia jadi gila plus P.A gini lagi.” Eroy bingung.
“Lo ga sadar ya, kita selamat. Lo liat itu…sama itu, kita selamat! Bau ayaaaaaam!!”
Ketong menunjuk ke arah kandang ayam di bawah dan kubah masjid. Eroy pun mendapat pencerahan dari kejeniusan ketong.
“Lo betul, kita selamat… Bau ayam, bau ayam!! Berhasil, berhasil!” Eroy ikutan.
Mereka lari kesana dan terdiam. Kandang ayam itu 2 meter ke bawah. Dengan perhitungan cermat dan akurat, Ketong bertindak.
“Gussraak!” Eroy berguling jatuh karena didorong oleh Ketong. Eroy langsung berdiri.
“Oh aman.” Ketong langsung turun dengan perlahan dan selamat.
“Tong, lo apaan si! Kalo gua kenapa-kenapa gimana?? Emak gua belum liat gua jadi sarjana.” Eroy ngedumel.
Sekarang bagaimana cara keluar dari sana. Mereka jalan memutar dari kandang ayam dan menemukan sebuah…
“Jurang!!” Teriak mereka berdua.
Tanpa pikir panjang, Ketong mendorong Eroy lagi untuk memastikan itu aman atau tidak. Aman, Ketong langsung turun dan naik ke sisi lain.
“Lo emang temen gua yang paling baik Roy.” Ketong tanpa muka bersalah.
“TMT ni namanya,temen makan temen!” Eroy habis kesabaran.
Namun Eroy melihat sesuatu yang membuatnya menitikkan air matanya.
“Tong, liat itu!” Eroy menunjuk sesuatu.
“Apaan? Pohon nangka?” Kepala Ketong yang sudah berasap jadi rada lamban, matanya mulai jereng.
“Itu rumah Afid!!” Eroy teriak penuh haru.
Kedua sejoli itupun berlari dengan mata berkaca-kaca, hidung berdarah, telinga bernanah. (walah). Di ujung sebuah gang terlihat seberkas cahaya terang, masjid.
“Ga nyangka gua bakal seseneng ini ngeliat masjid.” Kata Eroy.
Sampai disana qomat telah berkumandang, jamaat telah siap untuk salat. Ketong dan Eroy langsung ke tempat wudhu dan mencari tempat ke dalam masjid. Tak pernah mereka salat sekhusyuk dan sehikmat ini sampai-sampai menitikkan air mata. Terbayang perjuangan mereka yang dramatis dan mengharukan sekaligus aneh dan bodoh.
Setelah mereka selesai, mereka berdoa dalam hati.
“(Ya Tuhan, biarkan aku mengingatmu di setiap waktuku. Jangan biarkan aku menunda salatku. Dan jangan engkau pertemukan aku dengan si belut Eroy ini lagi.)”
Ketong berdoa dengan air mata di pipinya.
Di sisi lain Eroy berdoa.
“(Sama, jangan engkau sandingkan aku dengan begundal ketong lagi ya Tuhan.)”
Hari inipun berakhir dan mereka hidup bahagia selamanya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar